Maafkan ibu, bidadari kecilku
Malam belum seberapa tua, mata anak sulungku belum juga bisa dipejamkan. Beberapa buku telah habis kubacakan hingga aku merasa semakin lelah. "Kamu tidur donk Dila, Ibu capek nih baca buku terus, kamunya nggak tidur-tidur," pintaku.Ditatapnya dalam wajahku, lalu kedua tangannya yang lembut membelai pipiku. Dan, oh Subhanallah, kehangatan terasa merasuki tubuhku ketika tanpa berkata-kata diciumnya kedua pipiku. Tak lama, ia minta diantarkan pipis dan gosok gigi. Ia tertidur kemudian, sebelumnya diucapkannya salam dan maafnya untukku. "Maafin kakak ya Bu. Selamat tidur," ujarnya lembut. Kebiasaan itulah yang berlaku dikeluarga kami sebelum tidur. Aku menghela nafas panjang sambil kuperhatikan si sulung yang kini telah beranjak sembilan tahun. Itu artinya telah sepuluh tahun usia pernikahan kami.
Dentang waktu didinding telah beranjak menuju tengah malam. Setengah duabelas lewat lima ketika terdengar dua ketukan di pintu. Itu ciri khas suamiku. Seperti katanya barusan ditelepon, bahwa ia pulang terlambat karena ada urusan penting yang tak bisa ditunda besok.
Suamiku terkasih sudah dimuka pintu. Cepat kubukakan pintu setelah sebelumnya menjawab salam. "Anak-anak sudah tidur?" Pertanyaan itu yang terlontar setelah ia bersih-bersih dan menghirup air hangat yang aku suguhkan. "Sudah," jawabku singkat.
"Kamu capek sekali kelihatannya. Dila baik-baik saja?" Aku menggangguk. "Aku memang capek. Tapi aku bahagia sekali, bahkan aku pingin seperti ini seterusnya." Lelaki berusia tiga puluh lima tahun itu menatapku dengan sedikit bingung. "Akan selalu ada do'a untukmu, karena keikhlasanmu mengurus anak-anak dan suami tentunya. Dan aku akan minta pada Allah untuk memberimu pahala yang banyak," hiburnya kemudian.
Aku tahu betapa ia penasaran ingin tahu apa yang hendak aku katakan, tapi ia tak mau memaksaku untuk bercerita. Tak sanggup aku menahan gejolak perasaan dalam dada yang sepertinya hendak meledak. Kurangkul erat tubuhnya. "Maafkan aku mas," bisikku dalam hati.
Pagi ini udara begitu cerah. Dila, sulungku yang semalam tidur paling akhir menjadi anak yang lebih dulu bangun pagi. Bahkan ia membangunkan kami untuk sholat subuh bersama. Mandi pagipun tanpa dikomandoi lagi. Dibantunya sang adik, Helmi, memakai celana. Dila memang telah trampil membantuku mengurus adiknya. Tak hanya itu, menyapu halamanpun ia lakukan. Tapi itu dengan catatan, kalau ia sedang benar-benar ingin melakukannya. Kalau "angot" nya datang, wah, wah, wah.
Inilah yang ingin aku ceritakan. Dila kerap marah berlebihan tanpa sebab yang jelas, sampai membanting benda-benda didekatnya, menggulingkan badan dilantai dan memaki dengan kata-kata kotor.
Memang aku pernah melakukan suatu kesalahan saat aku kesal menghadapi ulahnya. Saking tak tertahannya kesalku, aku membanting pintu dan itu dilihatnya. Wajar saja kalau akhirnya Dila meniru perbuatanku itu. Penuh rasa sesal saat itu, aku berjanji untuk tidak melakukan hal itu kembali. Kuberikan penjelasan pada Dila bahwa aku salah dan hal itu tak boleh ia lakukan. Entah ia mengerti atau tidak.
Hari itu Dila bangun agak siang karena kebetulan hari Minggu, pakaiannya basah kena ompol. Padahal ia tak biasanya begitu. Segera saja kusuruhnya mandi. Tapi Dila menolak, dengan alasan mau minum susu. "Boleh, tapi setelah minum susu, kakak segera mandi ya karena baju kakak basah kena ompol" Dila menyetujui perjanjian itu. Tapi belum lagi lima menit setelah habis susu segelas, ia berhambur keluar karena didengarnya teman-temannya sedang main. Mandipun urung dikerjakan. Aku masih mentolelir. Tapi tak lama berselang "Kak Dila. mandi dulu," aku setengah berteriak memanggilnya karena ia sudah berada diantara kerumunan anak yang sedang main lompat tali. "Sebentar lagi Bu. Kakak mau lihat Nisa dulu," begitu jawabnya.
Aku masih belum bereaksi. Kutinggal ia sebentar karena Helmi merengek minta susu. Setelah membuatkan susu untuknya, aku keluar rumah lagi. Kali ini menghampiri Dila. "Waktumu sudah habis, sekarang kamu mandi", bisikku pelan ditelinganya. Dila bereaksi menamparku keras, "Nanti dulu!" aku tersentak, mendadak emosiku membludak. Aku balas menampar Dila hingga meninggalkan bekas merah di pipi kanannya. Tanpa berkata-kata lagi, kuseret tangannya sekuat tenaga. Dila terus meronta. Kakiku digigitnya. Aku dengan balas mencubit. Laiknya sebuah pertarungan besar kami saling memukul dan meninggikan suara. Setibanya dikamar mandi Dila kuguyur berulang-ulang, kugosok badanya dengan keras, kuberi sabun dan kuguyur lagi hingga ia tampak gelagapan. Aku benar-benar kalap. Selang beberapa menit kemudian, kukurung Dila dikamar mandi dalam keadaan masih tidak berpakaian. Ia menggedor-gedor pintu minta dibukakan. Berulang kali ia memaki dan mengatakan akan mengadukan kepada ayah.
Tak berapa lama kemudian suara Dila melemah, hanya terdengar isak tangisnya. Aku membukakan pintu dengan mengomel. "Makanya, kalau disuruh mandi jangan menolak, Ibu sampe capek, dari tadi kamu menolak mandi terus. Awas ya kalau seperti ini lagi. Ibu akan kunci kamu lebih lama lagi. Paham!", entah ia mengerti atau tidak. Dila hanya menangis meski tidak lagi meraung.
Setelah rapih berpakaian, menyisir rambut dan makan. Dila seolah melupakan kejadian itu. Iapun asyik kembali main dengan teman-temannya. Peristiwa itu tidak hanya satu dua kali terjadi. Tidak hanya pada saya ibunya tapi juga pada ayahnya. Tapi, cara suamiku memperlakukan Dila sangat berbeda. Barangkali memang dasarnya aku yang tidak sabar menghadapi anak rewel. Tiap kali itu terjadi, cara itulah yang aku lakukan untuk mengatasinya. Bahkan mungkin ada yang lebih keras lagi dari itu.
Tapi apa yang dilakukan Dila pada saya, Subhanalloh, Dila tak pernah menceritakan perlakuanku terhadapnya kepada siapapun. Seolah ia pendam sendiri dan tak ingin diketahui orang lain. Akupun tak pernah menceritakan kepada suami, khawatir kalau ia marah.
Padahal Dila itu anak kandungku, anak yang keluar dari rahimku sendiri. Aku kadang membencinya, tidak memperlakukan dia laiknya aku memperlakukan Helmi adiknya. Dila anak yang cerdas. Selalu ceria, gemar menghibur teman-temannya dengan membacakan mereka buku yang tersedia dirumah. Bahkan teman-temannya merasa kehilangan ketika Dila menginap di rumah neneknya diluar kota, yang cuma dua malam.
Belaian lembut tangan suamiku menyadarkan aku. Kulepas pelukanku perlahan. Tak sadar air mata menyelinap keluar membasahi pipi. "Sudahlah, malam semakin larut. Ayo kita tidur," ajaknya lembut. Aku berusaha menenangkan gemuruh dibatinku. Astaghfirullah, aku beristighfar berulang kali. "Aku mau tidur dekat Dila ya?" pintaku. Lagi-lagi kearifan suamiku membuatku semakin merasa bersalah. Kuhampiri Dila yang tampak pulas memeluk guling kesayangannya. Siswi kelas tiga SD itu begitu baik hati. Aku malu menjadi ibunya yang kerap memukul, berkata-kata dengan suara keras dan...oh Dila maafkan Ibu.
Disisi Dila bidadari kecilku, aku bersujud di tengah malam. "Ya Allah, melalui Dila, Engkau didik hambamu ini untuk menjadi ibu yang baik. Aku bermohon ampunan kepada-Mu atas apa yang telah kulakukan pada keluargaku, pada Dila. Beri hamba kesempatan memperbaiki kesalahan dan ingatkan hamba untuk tidak mengulanginya lagi. Dila, maafkan Ibu nak, kamu banyak memberi pelajaran buat Ibu."
Sebuah renungan untuk para ibu (termasuk saya didalamnya). Semoga kita semakin menyayangi anak-anak dan memperlakukan mereka dengan baik. Sebagaimana diingatkan dalam sebuah hadits Nabi SAW agar manusia menyayangi anak-anaknya. Ketika Aqra' bin Habis At Tamimi mengatakan bahwa ia memiliki sepuluh anak tapi tak pernah mencium salah seorang diantara mereka, Rasululloh SAW bersabda "barangsiapa yang tidak menyayangi maka dia tidak disayangi" (HR. Bukhari dan Tirmizi)
Penjaja Kuepun Berumroh, Subhanalloh…
Satu kenangan spesial yang tidak pernah dilupakan oleh salah seorang rekan saya asal Trenggalek, ketika berkunjung ke tempat saya beberapa tahun lalu, adalah suara seorang penjaja kue. Dua hari selama tamu saya ada di rumah, dua kali itu pula dia mendengarnya: "Jajaaannnn…… Jajaaaannnnnn……"
Entah berapa tahun sudah suara pedagang ini 'berkumandang', berkeliling setiap hari di perkampungan kami. Khas sekali suaranya. Perempuan itu dikenal masyarakat sebagai penjual jajan keliling. Satu keranjang kecil, ditaruh di atas kepalanya, piawai sekali. Mengenakan pakaian khas Jawa sederhana dengan kepala dililit kerudung, tiada sore terlewatkan tanpa kehadiran suara pedagang ini. Hujan pun bukan penghalang baginya. Pisang goreng misalnya, salah satu jajanan yang ditawarkan, menjadi favorit kami.
Sesekali, secara bergantian tangan kanan dan kirinya menahan keranjangnya, agar tidak jatuh. Menyusuri lorong-lorong perkampungan kecil, menghampiri rumah demi rumah pelanggan yang biasa membutuhkan snack sore, menemani minuman teh mereka. Aroma aneka jajanan yang ditawarkan, membuat orang tidak pernah melewatkan. Lepas sholat ashar, tanpa diundang, kue-kue hangat ini ibarat free delivery. Sang pedagang sepertinya sudah memiliki jadwal paten siapa gilirannya dan jam berapa mendapatkannya.
"Mbak Tin penjual kue", begitu kami memanggilnya. Dia telusuri hari-harinya, bersaing dengan pedagang-pedagang keliling lainnya. Ada yang menjajakan bakso, nasi goreng, rujak, bakpao, pangsit mie, soto ayam, dan pedagang lain yang menarik gerobak. Berbeda dengan Mbak Tin, pedagang-pedagang keliling ini rata-rata berasal dari luar perkampungan kami.
Mbak Tin tinggal di gubug reyot di pojokan kampung kami. Saya yakin, kalaupun pemerintah kota mengetahuinya di pinggir jalan, gubug ini jadi salah satu prioritas penggusuran karena 'mengganggu' pemandangan. Mbak Tin tinggal bersama seorang anak laki-lakinya. Adalah di luar pengetahuan saya tentang kapan dia ditinggal pergi oleh sang suami. Sejak tinggal di gubug tersebut, hanya mereka berdua yang kelihatan.
Alhamdulillah dagangannya selalu laris. Sebelum adzan maghrib tiba, ia sudah kembali ke rumahnya. "Mbak Tin...!" teriakku sore itu sekitar jam empat tiga puluh. Dia pun menoleh, mencari tahu dari mana arah suara tadi. "Masih ada pisang gorengnya, Mbak?" tanyaku, kepada orang yang usia sebenarnya tidak terpaut jauh dengan Ibuku. Tapi karena orang-orang semua memanggilnya Mbak Tin; jangankan saya, anak-anak TK saja memanggilnya dengan sebutan 'Mbak'. "Maaf Mas, sudah habis. Singkong gorengnya masih!" tawarnya. "Iya deh!" jawabku.
Mbak Tin terkenal ramah. Orang-orang senang sekali kepadanya. Terkadang kualitas sebuah produk menjadi prioritas kedua seorang customer. Sebaliknya, pelayanan yang baik dan ramah menduduki posisi satu tingkat di atasnya. Itu semua diajarkan dalam Islam. Bahwa bukankah ucapan salam dan senyuman juga ibadah yang membawa berkah? Itulah rumus yang diaplikasikan oleh Mak Tin, seorang ibu sederhana penjual jajan yang tidak pernah melupakan salam dan hamdalah dalam keseharian bisnis kecilnya.
Sebenarnya, bukan karena keramahan dan kesupelannya saja yang mendorong orang-orang di kampung kami untuk membeli dagangannya. Kelebihan lain yang dimiliki ibu satu anak ini adalah keterampilan mengajari Al-Qur'an. Dibandingkan dengan kami, orang-orang kebanyakan, Mbak Tin beruntung dalam masalah ini. Makanya orang-orang di kampung mempercayakan anak-anak mereka untuk diajar membaca Al-Qur'an oleh Mbak Tin.
Setiap sore, lepas maghrib, Mbak Tin mengajari anak-anak membaca ayat-ayat suci Al-Qur'an. Kadang di surau, tidak jarang di rumahnya sendiri. Dengan fasilitas bentangan tikar yang sudah kusam, anak-anak duduk di lantai, mendengarkan: Alif, ba, ta, tsa… begitulah seterusnya. Proses belajar mengajar di 'forum' yang jauh dari sentuhan konsep para ahli pendidikan maupun sarana teknologi canggih ini berlangsung terus-menerus.
Buahnya, kita tidak pernah menyangka, bahwa perubahan moral kerohanian yang dihasilkan dari sumbangsih perempuan penjual jajan ini bisa saja lebih besar ketimbang itu semua. Anak-anak kampung yang kini sudah besar dan 'bertebaran' di bumi Allah, secara tidak langsung telah menikmati dan mengamalkan sebagian 'ajarannya'. Karena jasa Mbak Tin mereka pandai membaca Al-Qur'an, sekalipun kini ada yang duduk di IAIN.
Sementara banyak anak didiknya yang tinggal di rumah-rumah yang laik, guru 'madarasah' kecil ini tetap istiqomah di gubug yang sudah hampir ambruk.
Selama bertahun-tahun, Mbak Tin telah memanfaatkan 'madarasah' ala kadarnya guna melestarikan 'Kalam Ilahi' dalam benak calon-calon generasi mendatang. Selama itu pula, sayangnya, orang-orang di perkampungan kami tidak ada yang tergerak untuk memberikan uluran tangannya guna memperbaiki 'madarasah' nya. Hingga suatu hari, atas inisiatifnya sendiri, Mbak Tin berkunjung ke rumah Pak Ahmad, seorang pedagang barang-barang bangunan di sudut jalan yang dikenal sebagai satu-satunya orang pemelihara masjid di lingkungan kami.
"Pak Haji!" katanya. "Ini saya serahkan uang tabungan saya bertahun-tahun, sepuluh juta rupiah, saya minta bantuan Bapak untuk menggunakan uang ini buat memperbaiki rumah saya yang sudah reyot!" Mendengar permohonannya, Pak Haji Ahmad baru tersentuh. Sadar bahwa selama ini beliau merasa kurang perhatian terhadap kebutuhan Guru Mengaji ini.
"Baiklah!" jawab Pak Ahmad. Hari itu juga, Pak Ahmad memulai kalkulasi bahan-bahan bangunan yang dibutuhkan. Permintaan Mbak Tin yang semula hanya memperbaiki bagian rumah yang rusak, oleh Pak Haji bangunan dirobohkan secara keseluruhan. Kemudian dibangunnya rumah baru. Kelebihan dana yang dikeluarkan untuk mendirikan bangunan baru tersebut seluruhnya dipikul oleh Pak Haji. Subhanallah. Rumah Mbak Tin yang semula terjelek di perkampungan itu, kini nampak cantik sekali. Bahkan paling baik kondisinya dibandingkan rumah-rumah di sebelahnya.
"Mbak Tin tidak usah memikirkan berapa sisa yang dibutuhkan untuk menyelesaikan bangunan ini. Saya ikhlas!" Kata Pak Ahmad suatu hari ketika Mbak Tin menanyakan jumlah uang yang dikeluarkan untuk memperbaiki rumahnya. Mbak Tin sadar, bahwa uang yang diserahkan Pak Ahmad, jauh dari cukup untuk merampungkannya.
Tidak haya sampai di situ kebahagiaan yang dialami Mbak Tin. Selama bertahun-tahun mengajar anak-anak mengaji, ternyata ada pula seseorang yang memperhatikan dari 'jauh'. Seorang dermawan yag ingin agar ustadzah ini berkesempatan melihat Baitullah dari dekat. Rumah Allah. Tempat ibadah yang didambakan semua umat Islam.
Betapa bersyukurnya Mbak Tin mendengar berita ini. Mungkin ia berpikir, mana mungkin seorang penjual jajan pasar mampu membiayai perjalanan ke Masjidil Haram. Seumur hidup pun kalau dia mau menabung, di jaman sekarang ini, tidak bakal tertutupi biayanya. Apalagi kebutuhan terhadap kondisi rumahnya juga membutuhkan penanganan segera.
Namun di tengah segala kesulitan yang dialaminya, rupanya Allah SWT memberikan kemudahan. Tidak ada orang yang akan pernah menyangka bahwa Mbak Tin bakal berkunjung ke Mekah. Melaksanakan ibadah umroh.
Hari ini, tanggal dua puluh enam April, tahun dua ribu lima, Guru Mengaji di kampung kami, Mbak Tin, berkemas-kemas menuju bandara. Puluhan orang, termasuk bekas anak-anak didiknya, memadati rumahnya. Sebagian besar mereka meneteskan air mata, terharu mengingat besarnya jasa perempuan penjaja pisang goreng itu selama ini. Mengingat betapa Allah Mahabijaksana, memberangkatkan kaum papa seperti dia. Bertahun-tahun sudah dia baktikan hidupnya untuk sebuah kepentingan yang jarang dilirik orang sebagai suatu prestasi. Apalagi sebuah karir ! Hari ini, Allah SWT telah melengkapi kebahagianya. Selamat menempuh perjalanan ke Baitullah Mbak Tin !
Perempuan-perempuan Teguh
Oleh Adi Junjunan Mustafa
Kebanyakan kita tidak hidup di suasana perang, seperti pada generasi kakek-nenek kita yang melalui masa-masa perang kemerdekaan, seperti masa-masa perjuangan di Afghanistan, seperti suasana di Palestina hingga saat ini, dan seperti suasana di masa Rasulullah saw dan para sahabatnya hidup.
Dalam satu buku sirah yang memenangkan satu lomba penulisan Sirah Nabi Muhammad saw yang diadakan Rabithah 'Alam Islamiy, dipaparkan bahwa dalam kurang lebih 10 tahun masa kehidupan Nabi di Madinah, tidak kurang terjadi 83 kali peperangan dan ekspedisi pasukan. Artinya setiap tahun rata-rata terjadi delapan kali peperangan atau ekspedisi atau setiap satu setengah bulan sekali.
Bayangkan bagaimana kekuatan jiwa para shahabiyyah dalam menghadapi suasana seperti itu. Setiap kali melepaskan suami atau anak laki-laki mereka, para istri dan para ibu itu siap untuk menerima kepergian orang yang dicintainya untuk selamanya. Setidaknya begitulah kesiapan yang mereka miliki dalam dimensi kehidupan dunia. Begitu jiwa-jiwa para perempuan Palestina begitu teguh melepaskan suami dan anak-anak mereka berjuang merebut kemerdekaan negerinya.
Allah swt. telah melebihkan mereka dengan momentum waktu yang membuat jiwa mereka teguh. Cita-cita mendapatkan suami atau anak-anak yang pejuang dan menjadi syuhada, pahlawan yang gugur di jalan Allah adalah cita-cita yang nyata bagi mereka. Cinta mereka kepada suami dan anak-anak tidaklah dibatasi pada sentuhan fisik semata. Mereka telah melambungkan cintanya ke kehidupan yang lain, yang kekal abadi. Mereka telah membingkai cintanya dalam fikrah yang tinggi, ideologi yang menghantarkannya pada puncak kemanusiaan.
Fikrah yang diserap dari taujih Rabbani, pengajaran dan pengarahan dari Allah Yang Maha Tinggi dan Maha Bijaksana Pada medan perjuangan bangsa Afghan saat mengusir agresor Rusia, seorang istri pejuang pernah ditanya wartawan, "Apakah Ibu tidak takut, jika suami Ibu meninggal. Bagaimana Ibu akan hidup dan menghidupi anak-anak kelak?" Si Ibu hanya tersenyum. Tapi dari sorot matanya terpancar keyakinan yang dalam. Ia menjawab, "Suami saya hanyalah seorang pemakan rizki dan bukan Pemberi Rizki!"
Dalam buku "Ghirah", Buya Hamka pernah berkisah. Salah satu perkampungan di Tanah Minang diserbu Belanda. Pasukan mendapatkan seorang perempuan sedang menumbuk padi di depan sebuah rumah gadang. Seorang tentara Belanda menghardiknya dan menanyakan apakah di rumah ada orang laki-laki. Dengan tegas si perempuan menjawab,"Tidak ada!" Toh pasukan memeriksa rumah itu dan ternyata didapati ada seorang lelaki bersembunyi di dalam rumah. Perempuan itu pun dihardik lagi oleh tentara Belanda, "Kamu sudah berdusta ya... Tadi kamu bilang tidak ada orang laki-laki, ternyata ada!" Perempuan itu tidak menunjukkan wajah gentar sedikitpun. Dia malah menjawab lantang, "Yang kalian temukan itu bukan lelaki, sebab para lelaki adalah mereka yang berjuang di hutan-hutan. Bukan pengecut yang bersembunyi di rumah!"
Bapak saya bercerita, bagaimana kondisi desanya di Kuningan sana saat dikabari akan ada serangan dari Belanda [entah berapa kali Bapak menceritakan kisah ini]. Suara letusan dan desing peluru mulai terdengar, pertanda tengah terjadi pertarungan seru antara para pejuang melawan penjajah Belanda tidak jauh dari desa. Tapi kekuatan pasukan pejuang tak mampu menahan serbuan, hingga beberapa utusan pejuang datang ke desa dan memerintahkan para perempuan dan anak-anak untuk meninggalkan desa. Saat itu terlihat bagaimana Enin [panggilan saya untuk nenek yang tak pernah saya jumpai, karena wafat saat Bapak masih remaja] begitu tenang dan teguh mengurus anak-anaknya yang masih kecil-kecil untuk pergi mengungsi. Bapak saya adalah anak terbesar. Usianya baru sekitar 13-14 tahunan. Ia mesti membantu Enin dengan sekuat tenaga. Di mana Engki, kakek saya? Saat itu ia tak ada di tengah keluarga, karena tengah bergerilya di hutan-hutan. Enin telah berusaha mempersiapkan segalanya. Tak ada waktu santai. Semua persiapan mesti dilakukan serba cepat. Serempak bersama anak-anaknya, termasuk Bapak saya, Enin berjalan dan berlari meninggalkan desa. Ketika telah beberapa kilometer meninggalkan desa, Enin tiba-tiba berteriak, "AstagfirulLaah... Ujang, si Otong tertinggal!" Bapak saya, si Ujang yang dipanggil Enin, segera diperintahkan Enin untuk kembali ke desa, mengambil si Otong, yang tak lain adik bungsunya. Paman saya Harits alias si Otong, alhamdulilLah, bisa temukan dan diselamatkan. Meskipun Bapak menceritakan dengan sedih, bahwa seorang bapak di kampung yang menemaninya saat hendak keluar desa lagi, di tengah jalan tertembak peluru Belanda yang meninggal. Bapak melihat langsung kejadian ini.
Saya tidak bisa membayangkan betapa teguhnya perempuan-perempuan segenerasi Enin. Dalam kondisi berat ditinggal suaminya yang lebih banyak bergerilya, ia tak pernah terlihat mengeluh kepada Engki. Gambaran khidmat-nya pada suami digambarkan Bapak saya dalam kalimat, "Engki itu tak pernah makan ikan, kecuali duri-durinya sudah Enin pisahkan..."
Saya membayangkan, jika perempuan-perempuan teguh seperti para shahabiyyah, seperti isteri para pejuang di Palestina atau Afghanistan, seperti perempuan penumbuk padi di Tanah Minang, seperti generasi Enin hadir di masa ini, maka mereka akan menjadi penyejuk dan penyemangat para suami yang tengah berjuang.
Medan perjuangan saat ini memang bukan di tengah desingan peluru. Ada desingan-desingan lain yang tak kalah dashyatnya, yaitu desingan peluru yang meluluhlantahkan moralitas. Peluru dusta dan peluru penghianatan kepada kebenaran dan kepada orang banyak. Peluru yang membuat orang rakus dan lupa kepada mereka yang papa. Tantangan yang dihadapi saat ini, bukanlah medan perang gerilya di hutan-hutan. Medan perjuangan saat ini ada di dunia birokrasi, ada di dunia bisnis dan ada di tengah-tengah masyarakat. Atau bahkan medan perjuangan itu ada dalam diri sendiri; Melawan segala nafsu jahat yang setiap saat terus dihasut syaitan. Pada medan juang yang berbeda ini tetap dibutuhkan perempuan-perempuan teguh. Mereka pandai memaknai medan juang kontemporer, sehingga jiwanya disiapkan untuk berjuang. Mereka tak akan rela suaminya hanya menjadi pecundang peradaban materialisme. Mereka akan dukung perjuangan suaminya, meskipun kehidupan yang dihadapi menjadi berat. Mereka akan besarkan anak-anaknya untuk menghadapi tantangan zaman. Mereka harus cerdas, sekaligus sabar dan memiliki jiwa kasih sayang yang besar. ***
Dipersembahkan secara khusus untuk para istri yang mesti terpisah jauh dari suami mereka yang tengah merantau untuk satu misi mulia, bersabarlah. Semoga Allah mencatat kondisi ini sebagai kondisi perjuangan.
Ibunda Perkasa dari Tanah Duka
Oleh Miftahul Jannah
Di antara puing-puing luka dan penderitaan para korban gempa di Yogyakarta dan Jawa Tengah, ada banyak keperihan yang tersingkap, ada banyak duka yang terkuak, namun ada pula kekaguman yang tersibak. Kekaguman yang semakin menguatkan keyakinan pada diri saya, bahwa seorang ibu memanglah sosok yang amat mulia.
Namanya ibu Tuminem. Saya bertemu dengannya dihari ke-enam gempa yang menimpa Yogya dan Jawa Tengah. Ibu bertubuh kecil itu datang ke posko Masjid Mardliyyah -tempat saya berkativitas sebagai relawan- dengan menggendong bayinya. Wajahnya sendu dan tampak amat letih. Ia terduduk di tangga masjid, menangis sambil tak putus mengucap istighfar.
Rekan saya sesama relawan mendekati beliau, mengusap punggungnya dan membiarkan hingga tangisnya reda. Saya menyusul mendekati dan menghibur bayinya yang juga mulai menangis.
“Bagaimana, Bu?” Pertanyaan itu seolah telah terekam dan selalu menjadi pertanyaan pertama bagi kami tim psikologis untuk bisa mendapatkan aliran cerita dari para korban demi mereka bisa mengungkapkan apapun yang mereka rasakan.
Ibu Tuminem menghapus air matanya dan sekali lagi melafalkan istighfar.
“Saya mencari anak saya, Mbak. Sudah enam hari saya tidak bertemu dengan anak saya. Saya sudah tiga hari mencarinya ke semua rumah sakit, tapi nggak ketemu-ketemu” ujarnya tersendat-sendat karena dibarengi tangisan. “Keluarga yang lain bagaimana, Ibu?” tanya saya lagi. “Suami saya meninggal...” kalimatnya terputus dan ia mulai menangis lagi, lalu kembali menghapus air matanya dan melafalkan istighfar. “Saya ngurusin jenazah suami saya sampai dimakamkan dulu baru mencari anak saya” tambahnya. Waktu kejadian bagaimana, Ibu?” “Waktu gempa saya udah keluar rumah, belanja ke warung. Ibu mertua saya cuci piring, suami dan anak saya yang kedua masih tidur. Anak saya yang pertama udah main ke luar. Suami dan anak saya yang kedua ketimpa reruntuhan. Tapi anak saya yang pertama nggak tahu entah kemana” ujarnya tetap berurai air mata.
Innalillaahi, sungguh Allah berkuasa atas segala sesuatu. Cerita bu Tuminem ibarat sinetron bagi saya, kehilangan suami dan terpisah dari darah daging sendiri.
“Saya harus ketemu anak saya, Mbak. Kasihan dia, sudah enam hari tidak bertemu ibunya. Saya tidak tahu harus mencari kemana lagi. Saya cuma berharap dia diantar ke Magelang” tambahnya. Ia mulai menangis lagi. “Putera yang kedua bagaimana, Bu?” “Ada, Mbak. Dirawat di Panti Rapih, tangannya patah.”
“Di sana ada yang jagain?” “Ada budenya. Dia lagi ulang tahun, merengek-rengek terus minta dibelikan kue ulang tahun. Saya nggak tahan, saya nggak punya apa-apa lagi. Waktu gempa itu saya cuma ngantongin uang dua puluh lima ribu, itupun udah terlanjur saya belanjakan sayur. Sisanya habis untuk ongkos nyari-nyari anak saya. Makanya saya kesini, sambil nyari anak sulung saya ke Sarjito. Saya menjanjikan kue ulang tahun pada anak saya...” bu Tuminem mulai menangis lagi.
Masya Allah... seorang anak tetaplah seorang anak, ia ingin hari ulang tahunnya lebih berarti dengan kue ulang tahun. Tak peduli kakaknya entah di mana, ayahnya telah tiada, dan ibunya telah menjadi papa. Sedang ibu tetaplah ibu, tak kan kuasa seorang ibu memupus harapan anaknya, walau tak tahu dengan apa dia mendapatkan kue ulang tahun itu, tetap saja ia janjikan pada anaknya.“Putera yang ulang tahun namanya siapa, Bu?” tanya saya “Sena, Mbak”
“Ini ulang tahun yang ke berapa ?” “Tujuh tahun, kenapa Mbak?” bu Tuminem bertanya balik. “Nggak apa-apa, Bu. Sekarang ibu makan dulu saja, kalau ibu nggak makan kasihan anak-anak. Apalagi yang bungsu masih menyusu. Kalau ibu sakit kan lebih repot” dengan sedikit memaksa kami meminta bu Tuminem untuk makan, sudah sehari lebih beliau tak makan. Sedang bungsunya kami berikan susu, karena sudah berhari-hari pula dotnya hanya berisi air teh dingin.
Saya dan dua rekan relawan memutuskan untuk mewarnai ulang tahun Sena dengan sebuah kue ulang tahun. Selepas membeli kue ulang tahun kami mengantar bu Tuminem ke Panti Rapih dengan motor. Subhanallah, sesampainya di rumah sakit kami tak bisa menemukan Sena, karena lokasi tempat ia dirawat pagi harinya telah bersih dari korban gempa yang dirawat. Bu Tuminem mulai panik lagi.
“Kok nggak ada ya, Mbak? Tadi pagi masih di sana pakai tenda” tunjuknya pada taman di barat rumah sakit. “Mungkin udah dipindah, Bu. Kita tanya saja” saya mencoba menenangkannya. Pasien-pasien di RS Sarjito tempat saya beraktivitas sudah sejak dua hari yang lalu dipindah ke areal parkir rumah sakit, pasti di rumah sakit ini demikian juga, batin saya.
Lantas kami menemui petugas keamanan. Oleh beliau kami ditunjukkan beberapa tempat yang mungkin menjadi lokasi baru perawatan putera bu Tuminem. Ternyata di tempat-tempat itu tidak ada pasien dengan nama Sena Ramadhani, nama putera bu Tuminem.
Entah bagaimana kemudian terbersit pikiran bahwa putera bu Tuminem telah dibawa pulang keluarga ke Magelang. Selepas dhuhur bu Tuminem memang berencana melanjutkan pencarian putera sulungnya ke Magelang, ke tempat orang tuanya. Pikiran itu diperkuat dengan pernyataan tetangga bu Tuminem yang kebetulan berpapasan di rumah sakit dan baru datang dari Magelang. Bahkan kata beliau putera sulungnya juga ada di sana.
Bu Tuminem langsung berhamdalah, bahkan hampir menyungkurkan dirinya ke lantai untuk bersujud. Namun saya dan rekan-rekan merasa tetap memerlukan data bahwa putera kedua beliau memang telah dibawa pulang. Ternyata benar, di data pasien pulang ada nama yang dikenali bu Tuminem, yaitu ibu Dariyem. Pantas saja kami tidak menemukan nama Sena, karena nama yang dicantumkan di data adalah nama budenya. “Rasanya ibu seperti disiram air dingin, Nak” kata bu Tuminem pada puteri bungsu di gendongannya.
“Alhamdulillah, ya Bu” kami turut berbahagia dengan kebahagiaannya. Kami hanya bisa mengantarnya hingga ke terminal menuju Magelang seraya berharap ia bisa berkumpul lagi dengan anak-anaknya di sana.
Subhanallah, pasti ada banyak bu Tuminem lain selepas gempa tektonik lalu. Saya berdo’a semoga beliau mampu menjalani hidupnya ke depan dengan teguh sebagaimana keteguhannya mencari putera sulungnya, dan semoga Allah senantiasa melimpahkan kasih sayang padanya sebagaimana kasih sayang-Nya mengumpulkan kembali si ibu dengan anak-anaknya.